rss

MENENG, GUSTI ANA ING ATIMU

Sabtu, 03 September 2011

SAYA DI BESARKAN DI TANAH JAWA ,TANAH INDONESIA. SUDAH SEPANTASNYA SAYA MEMBELA IDEOLOGI ASLI PRIBUMI SAYA.

Yah ini jeritan hati nurani sejujurnya, tetapi inilah bukti Panca Sila telah dipinggirkan, mengaplikasikan pasal 29 UUD 1945 Negara Indonesia Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa saja nyata-nyata di reduksi atau bahkan diselewengkan menjadi negara berdasarkan 5 agama import pada masa ordebaru dan ditambah 1 agama import lagi dimasa reformasi sekarang totalnya menjadi 6 agama import yang eksistensinya dibela dan diakui negara dan pemerintah serta diberi anggaran !! inilah bukti nyata bahwa negara kita tidak mempunyai kedaulatan Spiritual.

Saya di besarkan di tanah Jawa ,tanah Indonesia. sudah sepantasnya saya membela Ideologi asli Pribumi saya.

Demikianlah kata Mutiara seorang yang tidak lupa pada asal keturunan genetik nya…jangan menjadi kacang yang lupa kulit…Cintailah budaya dan spiritualitas asli negeri…buang jauh kekaguman anda pada ideologi dan budaya asing, agar bangsa ini,benar2 mengalami kemajuan..agar anak cucu generasi penerus Tidak menjadi BUDAK budaya asing…!!

Jawa,sumatera, batak,dayak,madura,ambon,Bugis, asmat ,dan lain lain…adalah wajah asli Budaya kita…demikian pula segala produk budaya asing jangan biarkan menguasai budaya asli moyang kita…jayalah Indonesia.!! Bhinneka Tungal ika..selamanya.

Kalajengaken.....

Jumat, 01 Juli 2011

MAKLUMAT PRESIDEN 1945 TENTANG SALAM MERDEKA !!!!!!!

Di dalam alam kemerdekaan dimana negara Indonesia berdasarkan Panca Sila terlebih dalam era reformasi-demokratisasi, marilah kita renungkan bersama mulai sejak jaman “Demak Bintoro sampai keadaan sekarang apa yang terjadi !?.

  1. Kita tidak pernah lagi mempunyai “KEDAULATAN SPIRITUAL” justru negara membiayai agama resmi yang berasal dari import,
  2. Rasanya “tidak ada lagi raja putri” paling tidak di “Jawa”,
  3. Kalau kita ingat “Kartini” mengapa sampai terjadi wanita harus dipingit ?, padahal hanya orang Jawa yang punya anak perempuan yang berkewajiban menikahkan putrinya (mantu), jelas budaya memingit gadis bukan budaya Nusantara-Jawa.
  4. Dalam era reformasi Ibu Megawati menjadi Presiden bukan karena dipilih melainkan dikukuhkan sebab keadaan “darurat”,
  5. Sesama suku bangsa sendiri kalau berbeda agama rasanya tidak mungkin menikah ‼,
  6. Kepercayaan asli Nusantara justru menghadapi barrier dan restriksi-restriksi yang datangnya dari Negara dan pemerintah‼ Apakah ini tidak ironis aneh tapi nyata !?
  7. Khusus bagi orang Nusantara-Jawa semakin lama semakin “lali Jawane ora Jawa” bahkan sudah asing terhadap budayanya sendiri.
Sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan yaitu penggunaan Salam pembuka seperti “Assalamualaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera, Oom Swasti astu, Namo budhaya” dan yang lebih janggal lagi salam penutupnya hanya satu golongan agama. Khusus salam sejahtera mestinya ada terusannya salam sejahtera dalam kasih Tuhan Yesus juru selamat kami, mengapa menjadi salam sejahtera bagi kita semua ??!!!, dan mengapa hanya satu salam penutup saja ? padahal setiap salam pembuka agama itu pasti ada penutupnya, apakah persatuan dan kesatuan bangsa dapat dipertahankan bila keadaan ini terus berlangsung ?

Pada awal Reformasi pernah ada presiden yang kalau berpidato di depan masyarakat banyak, selalu memakai salam pembuka dari lima agama resmi, tetapi anehnya jika sudah selesai berpidato beliau hanya menutup dengan salam penutup dari salah satu golongan agama saja.

Pada ruang publik yang audiennya sangat majemuk adalah tidak pada tempatnya karena salam tersebut merupakan simbol golongan agama dan negara kita bukan negara yang berdasarkan agama (baik itu satu agama maupun 5-6 agama) melainkan berdasarkan Panca Sila.

Apakah Warga Penganut Kepercayaan juga merasakan keprihatinan, sebagaimana yang saya rasakan ?. Bayangkan saudara-saudara !, Bagaimana perasaan warga bangsa golongan agama dan kepercayaan lain yang salamnya tidak disebut atau disebut tidak lengkap ? Apakah mereka bukan bagian dari rakyat Indonesia karena beragama beda atau hanya berKetuhanan menurut adat nenek moyangnya ?.

Overdosis uluk salam secara nyata mengesampingkan arti pentingnya nilai-nilai modern seperti nilai produktivitas, efektivitas, efisiensi dalam berbicara bahkan secara kasat mata negara Indonesia yang berdasarkan Panca Sila ini telah secara perlahan dan pasti bergeser menjadi seolah-olah negara agama atau multi agama. Bila keadaan ini berlanjut, bagaimana mungkin persatuan dan kesatuan serta dasar negara Panca Sila dapat secara konsisiten di pertahankan dan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?.

Pemerintah dalam hal ini mantan presiden Almarhum Ir. Soekarno, telah mengantisipasi secara dini, oleh karena itu pada tanggal 01 September 1945 telah mengeluarkan maklumat presiden tentang salam “MERDEKA” sebagai salam nasional. Agar jelasnya saya akan paparkan betapa INDAHNYA salam ini.

Pada Cindy Adams, seorang wartawati Amerika, penulis buku “ Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ”, Bung Karno menerangkan nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam salam itu dengan berkata:

“Sebagaimana Nabi Besar Muhammad Sallallahu’alaihi Wasallam telah MENEMUKAN ucapan Salam untuk mempersatukan umatnya, maka turun pulalah suatu ILHAM dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk memekikkan suatu Salam kebangsaan bagi bangsa Indonesia”. Pada tanggal satu September 1945 aku menetapkan supaya setiap warga negara Republik Indonesia memberi salam kepada yang lain dengan mengangkat tangan, kelima jari terbuka lebar – yang maksudnya lima sila – dan meneriakkan “ MERDEKA”.

Tak henti-hentinya Bung Karno mensosialisaikan dan menggembleng serta menyadarkan bangsanya seperti dalam pidato di Surabaya, tanggal 24 September 1955 Bung Karno berkata dengan berapi-api untuk mengingatkan rakyat Indonesia agar selalu menggelorakan pekik pengikat bangsa :

Sebagai warganegara Republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “MERDEKA”. Dan sebagai warganegara merdeka, saya tadi memekikkan pekik “Merdeka” bersama-sama dengan kamu. Kamu yang beragama Syiwa-Buddha, Hindhu-Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “Sekali merdeka tetap merdeka”.

Pekik Merdeka, Saudara-saudara, adalah pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme – dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional yang belum selesai, jangan lupa pada pekik merdeka ! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik “MERDEKA” !!”

Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, Warganegara Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan pekik MERDEKA !. Jangankan di Sorga, didalam nerakapun!” (kumpulan pidato Bung Karno menggali Panca Sila, Wawan Tunggul Alam, SH, Gramedia 2001 hal 35-38).


Hebatnya salam nasional warisan Bung Karno ternyata mampu menembus sekat-batas wilayah negara dan adat istiadat serta kebangsaan. Di era 1950 dan 1960-an tatkala perang dingin sedang memuncak antara blok barat yang dimotori oleh Amerika Serikat dengan Blok Timur yang dimotori oleh Uni Soviet, Banyak aktifis politik dan seniman dunia ketiga di Asia-Afrika, dan Amerika Latin terinspirasi luar biasa oleh salam tersebut. Adalah Khair Ahmad Khair, seorang penyair top dari Sudan yang selalu membuka dan menutup pidatonya dari mimbar pengarang Asia Afrika, dengan pekik “Merdeka” sambil mengacungkan tinju kanannya ke udara. Ia yakin salam itu maknanya luar biasa sehingga dengan penuh keyakinan ia pergunakan di ajang pertemuan pengarang Asia Afrika. (100 Tahun Bung Karno, Hasta Mitra 2001 hal 207).

Orang asing saja dengan penuh kerelaan, kesadaran dan percaya diri mau menggunakan salam ini, pastilah salam ini bukan sembarang salam, sehingga pantaslah kalau kita pergunakan untuk merajut persatuan dan kesatuan.

Mengapa salam “MERDEKA” dapat menjadi begitu bernilai dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara ?. Apa arti dan filosofinya ?.

Sangat disesalkan Kata “MERDEKA” selama ini selalu dikatakan oleh para pakar berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘MAHARDIKA’, dengan pendapat ini secara tidak langsung berakibat mendelegitimasi salam ini, bahkan ada seorang pemimpin bangsa mengatakan “BENGAK-BENGOK KAYA DURUNG MERDEKA” yang akibat selanjutnya muncul keengganan mempergunakannya. Akan tetapi beberapa orang bijak sesepuh pini-sepuh JAWA membisiki saya bahwa kata “MERDEKA” berasal dari bahasa jawa “MARDIKA” sedangkan maknanya mesti dicari dengan cara kiratabasa atau jarwadosok yaitu :

MARDI berarti tempat, sarana atau “Jalan”
Perbedaan arti MARDI dan MARGI  >>> Margi adalah Jalan yang konkrit berwujud bisa diraba sedangkan Mardi juga bisa diartikan jalan yang bersifat abstrak tidak bisa diraba.
IKA Berarti Satu, Tunggal, esa dimaknai sebagai Hyang Tunggal atau Yang Esa”dalam konteks falsafah Jawa dimaknai “Sangkan Paraning Dumadi”.

MARDI + IKA   >>> MARDIKA artinya jalan kelak kembali bersatu pada Tuhan Yang Maha ESA atau dalam konteks Jawa yaitu jalan menuju paraning dumadi ya itulah Kepercayaan Jawa akan “Sangkan-Paran

Indah sekali bukan ? dan tidak aneh bila dalam perjuangan kemerdekaan sering diteriakan MERDEKA atau MATI yang bermakna sebenarnya sama bahwa Merdeka = Mati menuju “Bali Menyang Sangkan Paran” atau “bali menyang mula mula nira”. Jadi kata “Mardika” artinya sangat dalam yaitu “Jalan menuju kepada Hyang Tunggal atau Tuhan Yang Maha Esa” atau “jalan menuju bali menyang-sangkan paran”.

Setiap kali memekikkan salam "Merdeka" diharapkan manusia ingat atau “Eling” pada “Gusti” atau Tuhan Yang Maha Esa dan "Eling"  pada akhirnya pasti akan meninggal dunia atau “merdeka abadi” atau “Bali Menyang Sangkan Paraning Dumadi”, Lima jari yang terbentang juga melambangkan Panca Sila sekaligus filosofi ‘ELING’ telah sampai dimana tahapan proses kehidupan manusia yang memekikan “MERDEKA” karena sepanjang hidup manusia, dari lahir sampai mati secara normal melalui lima tahapan perjuangan “MERDEKA”. Masing-masing tahap “MERDEKA” itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. MERDEKA Tahap I bayi keluar dari Goa Garba atau kandungan-perut ibu. Bayi yang dikandung seorang ibu tidak selamanya ingin tinggal dalam perut, selama sembilan bulan sepuluh hari ia telah tumbuh dan berkembang sehingga ketika tiba saatnya untuk lahir, bayi tersebut meronta dan berusaha memapankan posisinya agar dapat keluar dengan lancar. Ketika bayi itu dapat keluar dengan selamat dan menghirup napas menangislah keras-keras, lahirlah seorang manusia baru. Ia telah “MERDEKA”, dari kehidupan yang sangat terbatas di dalam perut, berubah menjadi hidup bebas di dunia arcapada yang luas.

2. MERDEKA Tahap II adalah merdeka lepas dari beban orang tua. Si bayi mulai tumbuh menjadi anak-anak lalu masuk sekolah dari TK, SD, SMP, SMU mungkin sampai Universitas, masih menjadi tanggung-jawab orang tua. Bahkan ketika sudah bekerjapun sebenarnya belumlah dapat dikatakan “MERDEKA” apabila masih mendapatkan subsidi dari orang tua. Barulah ketika mampu mandiri 100% dapat dikatakan merdeka tahap II bisanya diikuti dengan menikah untuk membentuk keluarga baru.

3. MERDEKA Tahap III adalah Keluarga baru mempunyai keturunan atau anak, ia akan mengentaskan satu-demi satu anaknya. Orang tua yang belum mampu menuntaskan anaknya dalam arti menikahkan semua putra-putrinya belumlah dapat dikatakan dapat dikatakan merdeka tahap III. Para Warga penganut kepercayaan bayangkan saja bila ada orang tua yang suka kawin-mawin apakah bisa merdeka tahap ini.

4. MERDEKA Tahap IV adalah Setelah melihat anak-anaknya mentas semua, sebagai manusia pasti mengalami proses alamiah yaitu tua meninggalkan tugas rutin duniawi artinya berhenti dari apapun profesi yang dilakoninya atau istilahnya purna tugas duniawi “LENGSER” dan pensiun. Dalam masa ini kita membebaskan diri dari pekerjaan rutin duniawi yang membelenggu hidup selama ini. Sebagai gantinya kita mempersiapkan diri untuk kembali ke “SANGKAN PARANING DUMADI”

5. MERDEKA Tahap V adalah mampu kembali dengan tenang ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa atau istilah jawanya “BALI MULA-MULANIRA ATAU BALI MENYANG SANGKAN PARANING DUMADI”.

Apakah warga penganut kercayaan Nusantara-Jawa masih ragu mempergunakannya ? Bagi warga penganut kepercayaan yang masih ngotot-berkukuh dengan salam “RAHAYU”, “WARAS” ataupun lainnya yang katanya khas Jawa itu ?, Secara khusus saya menghimbau agar bersatu dan tidak perlu ragu lagi mempergunakannya salam MERDEKA yang telah dimaklumatkan oleh sang Proklamator. Salam Merdeka juga bukan merupakan salam golongan atau partai, yang terpenting buktikan bahwa Padhepokan, Paguyuban atau apapun namanya bukan organisasi politik ataupun berafiliasi pada partai politik tertentu dan tidak menjalankan misi politik praktis.
Kalajengaken.....

Chating .......Sambung Rasa....


ShoutMix chat widget