Dalam kongres BKKI kaum kebatinan sebanyak 70 Organisasi ke I di Semarang 21 Agustus 1955 ditetapkan sumber asas Aliran Kebatinan-Kepercayaan ialah "SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE, MEMAYU HAYUNING BAWANA". Pada kongres kebatinan ke II tahun 1956 sesanti itu langsung diganti dalam putusan kongres karena tidak tepat atau kurang benar-pas.
Pada tahun 1975 presiden Soeharto ketika itu perpidato di Rio de Janiero didepan wakil 75 negara pada konferensi bumi (Earth conference) menginternasionalkan sesanti "MEMAYU HAYUNING BAWANA" dalam pidatonya.
Sekarang Direktorat Kepercayaan sering mengumandangkan sesanti "MEMAYU HAYUNING BAWANA" dengan disertai gambar "GAPURAN" lupa memasang "BLUMBANGAN", maklum wong jawa wis kari separo ora sampurna maneh dadi ganjil mestine gambar ilustrasine ya ganep-jangkep "GAPURAN lan BLUMBANGAN" simbol lanang-wadon, Ibu-Bapa dll.
Sebagaimana kita ketahui kita lahir Bawana sudah ada gumelar, yang sudah ada tersebut dipergunakan dan di uri-uri lestari bukan diubah-ubah karena merasa kurang indah kita perindah lagi sesuai selera kita heee hee "wis kebacut kalau begitu", itu sama dengan merendahkan "Hyang Maha Ada". Rumangsa bisa, nanging ora bisa rumangsa.
Sesanti ini telah diaplikasikan secara meluas demi "MEMAYU HAYUNING BAWANA", dalam tataran penggede-penggede sejak jaman Demak Bintara sampai sekarang selalu saja dilakukan kompromi-kompromi elit hasilnya silahkan di renungkan sendiri. Untuk tataran rakyat jelata dari dulu selalu tidak berdaya dan mengikuti arah pemimpinnya apalagi sistim pemerintahan raja yang berkuasa mutlak dan sekarangpun era DEMOKRASI LIBERAL KAPITALISTIK rakyat mengikuti saja bahkan disuruh memilihpun karena pemimpinnya tampil menggunakan uang, ya kalau memilih hampir semuanya memilih dengan imbalan uang, semua dikompromikan demi "MEMAYU HAYUNING BAWANA".
Melihat kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa sesanti "MEMAYU HAYUNING BAWANA" adalah sesanti RIPTAAN kaum FEODALIS yang demi melanggengkan kekuasaannya dengan membodohi kawula alitnya. Sekarangpun secara jelas nyata terjadi demi alasan "MEMAYU HAYUNING BAWANA" terjadi kompromi-kompromi politik di tingkat elit penguasa partai-partai berupa koalisi dan kompromi dalam tatara legistalip-eksekutip-yudikatip bagi bagi kedudukan dan rejeki, kaluwa alit hanya sendika dawuh mawon. sumangga direnungkan kanti wening-bening.
Ada unen-unen dikalangan rakyat jelata yaitu "URIP KUWI SAPADHA-PADHA amerga KABEH KUWI PADHA-PADHA TITAHING GUSTI". unen-unen ini jelas nyata tidak perlu ditafsir atau diterjemahkan karena sederhana untuk semua orang. Sebenarnya Tuhan itu juga "MAHA SEDERHANA" tidak ndakik-ndakik sulitnya minta ampun, sehingga hanya orang pintar saja yang mengetahui tentang Tuhan.
Pengertian Urip itu tidak hanya untuk orang tetapi semua yang hidup di alam nyata ini tidak boleh diperlakukan semena mena, binatang mempunyai urip, tumbuh-tumbuhan mempunyai urip, bumi, air, api, angin pun mempunyai urip. Manusia bisa menggunakan dan melestarikan. Apabila terdapat manusia yang semena-mena manusia lain yang sadar mengingatkannya, apabila diingatkan tidak bisa bilamana perlu ya di brastha. karena itu ada perang Barathayudha.
“MEMAYU HAYUNING BAWANA” jelas pada tataran sesanti dan kaum elit disukai dan dianggap bagus serta indah diucapkan tetapi justru menyusahkan, mengaburkan bahkan meniadakan jiwa "URIP SAPADHA-PADHA". sumangga dipun wedar malih.
Browse » Home »
Reaktualisasi
» SESANTI : "URIP SAPADHA-PADHA" versus "MEMAYU HAYUNING BAWANA"
Rabu, 22 Juni 2011
SESANTI : "URIP SAPADHA-PADHA" versus "MEMAYU HAYUNING BAWANA"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar